Kecemburuan Anak Desa
Perkenalkan namaku Lewi, Lewi Tarampak. Hidupku sebagai anak rantau di Makassar menjadi sangat menjenuhkan sehingga aku memutuskan rehat sejenak dari kesibukan berkuliah dan pulang ke kampung halaman untuk mengisi kehampaan dalam hati. Kehampaan ini adalah perwujudan dari kekecewaan melihat kondisi masyrakat yang terkesan luar biasa tidak adil. Suatu sore aku berjalan - jalan di sekitar persawahan di sekitar desa untuk melihat- lihat para petani yang sedang menggarap sawah mereka.
Terlihat dari kejauhan berjalan seorang pria paruh baya dengan gaya nyentrik, dengan tangan berayun maju mundur saling bergantian. Wajahnya samar - samar terlihat membelakangi matahari sore yang hendak bersembunyi di balik samudera. Gambaran satu persatu muncul di benakku, rambutnya, bahunya sepertinya pria itu orang yang kukenal...ah ternyata si mamang teman sepermainanku yah walaupun sekolah kami berbeda sejak sekolah dasar sampai sekarang aku berkuliah kami tidak pernah sekalipun satu sekolah, tapi yang namanya sahabat tidak memandang jarak sejauh apapun dan perbedaan dari segi mana pun . Rumah kami cukup berdekatan hal itu juga yang membuat kami tumbuh dalam satu ruang yang sama.
" Oii...Lewi apa kareba, kapan kau balik dari Makassar" tanya mamang" Baik –baik ji teman, sudah seminggu ka di sini ", jawabku
" Baru di sini ko bikin apa, kukira kalian belum libur kuliah ?"
“ nda ada ji apa-apa cuma saya rindu sekali mi kampung, rindu ka sawah nya yang hijau kaya zambrud, suara air mengalir di parit persawahan ,rindu ka juga dengar celotehan burung kalo pagi, sekalian rinduka juga ketemu kau”
"Iii dede, klo saya sudah bosan di kampung Lewi malahan rinduka suasana kota. Kalau di kota kan bisa belajar banyak hal, ketemu juga sama orang-orang baru. Daripada di kampung cuma belajar bertani sama beternak terus itu pun tidak tahu kapan lulusnya.
"Jadi tidak dapat ijazah dong,hahaha.....aku tertawa mendengar jawaban lucu si Mamang, dari dulu si dia memang tak pernah gagal dalam hal melucu, meskipun begitu jawabannya selalu bermakna sangat dalam.
“Ehh Mamng dari jauh mirip sekali ko Pak Konjo yang selalu pakai topi petani andalannya"
“Busett tampang petani memang, tapi jujur kurasa – rasa nasibku pasti akan berakhir jadi petani ji, buat menamatkan SMA saja keluargaku mati-matian apalagi mau lanjut kuliah, mau makan apa adik-adikku nanti”. Ia menjawab dengan raut kecewa.
"Ah...Mang, jangan seperti itu, biar bagaimana pun jalan hidup yang kita jalani pasti akan tetap ada keindahan di dalamnya, layaknya ada siang dalam malam, tergantung bagaimana kita maknai, juga bagaimana kita melihatnya"
Aku cukup ragu memberi jawaban seperti ini karena terkadang kalimat motivasi sekalipun akan terasa hambar di hadapan pahitnya kenyataan. Sungguh aku merasa malu berdiri di depan sahabatku yang mengeluh kesusahan ini. Mungkinkah dia menganggapku seperti anak - anak pejabat di luar sana. Tak tau apa hendak kuperbuat untuk meringankan sedikit bebannya, kata-kata pun rasanya malah menambah beban hidupnya.
"Kau yang sabar saja sobatku, kemauan yang keras dalam dirimu menjadi harta paling berharga. Cukup jaga itu baik-baik tak usah banyak beradu nasib dengan yang berada, biar bagaimana pun mengeluh tak akan mengubah hidup kita. Kau mang sahabat ku dari kecil. Jangan sungkan sewaktu-waktu kau perlu bantuan, walaupun kita berdua sama - sama orang tak berada tapi mari berjuang bersama - sama membujuk takdir agar berpihak pada kita."
"Pasti itu mang, kamu mampu berjuang sejauh ini itu semua karena dirimu sendiri, seindah apa pun kata-kata yang kusampaikan tidak akan berpengaruh jika bukan tekadmu yang kuat melawan pergelutan yang ada dalam pikiranmu, pun dalam realita hidupmu".
"Iya lewi ,terima kasih"
Sesi curhat memang selalu kami lakukan ketika kami berjumpa, apalagi setelah sekian lama tidak bertemu. Banyak perjalanan hidup yang perlu diceritakan, setidaknya dapat menjadipelajaran bagi kami berdua.
"Berbicara tentang nasib kita Mang kalau kamu tahu, di Makassar sana ada ribuan orang kaya, rumah- rumah mereka menjulang menantang langit, dinding- dindingnya kokoh tak tertembus angin, atapnya berwarna pelangi yang sungguh menarik hati," Katanya seperti itu Lewi, memang hidup kita terlampau jauh berbeda dengan hidup mereka yang di kota. Barangkali masalah mereka hanya sebatas mencari kenikmatan baru. Apakah beda kita dan mereka Lewi? Kita sama manusia tapi hidup berbeda jauh. Kita sebangsa dan setanah air tapi rasa kita tak pernah satu."
"Aku pun heran, melihatnya saja membuatku pusing apalagi mengetahui penyebabnya"
bersambung....
0 comments:
Posting Komentar